Di antara segala kepiluan, kegalauan, dan kepanikan melakukan apa saja yang mungkin dalam menghadapi katastrofi dahsyat, sebagaimana gempa tsunami yang terjadi di Aceh, biasanya selalu mendekam pertanyaan besar : apa maunya Tuhan dengan semua ini? Ia bisa melintas secara otomatis dan tidak disengaja, atau bisa juga merupakan kebutuhan filosofis yang sedikit atau banyak lebih terelaborasi, tapi ia sulit ditekan, dan sesungguhnya memang tak bisa ditekan, khususnya bagi pikiran-pikiran yang memujikan rasionalisme.
Maka, melewati kejadian-kejadian besar seperti ini, chaos yang terjadi biasanya diikuti dengan semacam aktivitas soul searching, yang bisa membawa kita kepada keimanan yang lebih kuat, atau justru krisis teologis yang mengguncang. Pertanyaan yang menyembul tanpa bisa ditahan-tahan itu adalah : Kenapa Tuhan yang Mahapengasih dan Penyayang, yang Mahakuasa (yang kekuasaannya tidak terbatas), membiarkan, kalau tak malah menciptakan keburukan semacam gempa Tsunami yang menimbulkan korban jiwa, benda, dan penderitaan yang mahadahsyat seperti ini? Apa maunya Dia? Atau, jangan-jangan Tuhan tidak sepenyayang dan sepengasih yang kita kira? Bahkan sesungguhnya dia mahapemarah?
Belum lagi pertanyaan: kenapa orang-orang Aceh yang setidaknya banyak di antara mereka yang tidak berdosa dan setidaknya relatif lebih kuat beragama, malah sudah berkepanjangan ditimpa derita perang saudara? Kenapa tidak di Jakarta, tempat banyak orang berfoya-foya, melanggar perintahnya, dan tempat banyak koruptor kakap menjarah hak orang lain dengan tidak semena-mena? Di mana keadilan Tuhan, kalau memang Tuhan seperti yang dikenal oleh orang-orang beragama itu memang ada?
Inilah sesungguhnya suatu isu yang telah mengisi buku-buku teologi, nyaris sejak pertama kali agama dikenal manusia. Atau, setidaknya, sejak orang mengenal filsafat. Dari zaman pemikir Yunani “pelbegu” seperti Plato, bahkan jauh sebelumnya, hingga pemikir-pemikir Kristen, Yahudi, Islam, atau dari kelompok pemikir mana pun, masalah ini telah menjadi salah satu isu penting dalam filsafat dan teologi. Nyaris tak ada satu pun buku yang terkait dengan teologi yang tak menjadikan isu ini sebagai salah satu bagian pembahasannya.
Tapi, kapan saja katastrofi dahsyat terjadi, isu ini kembali mencuat. Karena, betapa pun banyak penjelasan diupayakan, tak bisa semua orang dipuaskan, atau bahkan tak ada pikiran-pikiran filosofis yang bisa sepenuhnya dipuaskan. Tentu saja ada alternatif penjelasan yang mungkin bisa diterima, meski tak sepenuhnya filosofis, melainkan eksplikatif. Dalam disiplin pemikiran, filsafat memang tak mulai dari asumsi-asumsi yang sudah terlebih dahulu diyakini kebenarannya dan, berangkat dari situ, menawarkan penjelasan-penjelasan logis, sebagaimana yang dilakukan teologi (dialektis).
Di antara penjelasan teologis yang biasa ditawarkan adalah, bahwa bencana seperti ini sesungguhnya adalah peringatan dan hukuman Tuhan bagi kebaikan dan harapan akan peningkatan kualitas — manusia sendiri. Yakni manusia yang masih hidup, sementara yang menjadi korban dipercayai akan diperlakukan dengan adil oleh Tuhan di alam yang lain. Apalagi, sebagai bagian dari paket penjelasan ini, bukankah penilaian akan keadilan Tuhan tak bisa berhenti hanya pada kehidupan dunia ini? Bukankah perhitungan baru selesai di akhirat nanti?
Masih dalam rangka penjelasan teologis seperti ini, ada yang bahkan berusaha menjelaskan katastrofi, –terkadang sambil mendukungnya dengan bukti-bukti kesejarahan– sebagai pendahulu bagi sebuah kelahiran baru yang lebih menjanjikan. Kenapa di Aceh? Tentu ada saja yang menganggapnya sebagai peringatan atau hukuman terutama untuk rakyat Aceh sendiri, tapi ada pula yang merasa bahwa hal ini terjadi justru karena Aceh membutuhkan sebuah kelahiran baru seperti itu setelah apa yang tampak sebagai kebuntuan dalam penyelesaian masalahnya yang terasa berlarut-larut dan tanpa tanda-tanda penyelesaian.
Tulisan ini dibuat tentu saja tanpa pretensi untuk memberikan solusi tuntas dan memuaskan terhadap pertanyaan yang usianya sudah setua peradaban manusia ini. Kalau pun ada kontribusinya, maka hal itu akan terletak pada upayanya dalam memaparkan, –atau malah, hanya meringkaskan– solusi-solusi yang pernah ditawarkan terhadap persoalan ini. Dan, bukannya teologis, pendekatan yang dipakai oleh tulisan ini bersifat nyaris sepenuhnya filosofis.
Maka, jika setelah membaca tulisan ini orang menjadi faham bahwa persoalannya sama sekali tak sederhana — dan, karena itu, tak gegabah dalam menarik kesimpulan-kesimpulan atas persoalan terdalam hakikat kehidupan manusia di bumi ini — maka saya menganggap tujuan penulisannya sudah tercapai.
Dirumuskan secara logis-diskursif, masalah keadilan Tuhan ini akan mengambil bentuk silogisme sebagai berikut :
1. Tuhan ada
2. Tuhan adalah baik
3. Tuhan adalah mahakuasa
4. Tuhan adalah mahatahu
5. Dunia mengandung kejahatan atau keburukan
Berdasar premis-premis di atas orang merasa dapat menyimpulkan secara logis adanya inkonsistensi. Bagaimana mungkin Tuhan yang baik, serta maha kuasa dan maha tahu, menciptakan atau membiarkan kejahatan atau keburukan di dunia?
Menurut John L. Mackie (Evil and Omnipotence, dalam Nelson Pike (ed.), Good and Evil, Prentice Hall,Englewoods Cliff, New Jersey, 1964) solusi yang ditawarkan terhadap apa yang dilihat sebagai inkonsistensi logis di atas bisa dibagi dalam dua kategori utama:
Kategori yang menolak setidak-tidaknya salah satu premis di atas, dan kategori kedua yang mempertahankan semua premis tersebut. Mackie menganggap kategori pertama mencakup solusi yang “mencukupi” dan kategori kedua mencakup solusi yang “rancu”. Marilah sekarang kita uraikan sedikit lebih lanjut dua kategori tersebut.
Kategori Pertama
Contoh penting dari kategori pertama adalah argumen bahwa kekuasaan Tuhan tidak absolut. Misalnya, Tuhan atau Demiurgos (Sang TukangPencipta Alam Semesta) yang dinyatakan Plato di dalam Timaeus, tidak dapat menjalankan kekuasaan tanpa batas, karena di dunia ada dua asas: materi dan forma (“bentuk”, sifat-sifat yang menjadikan materi memiliki sifat-sifat tertentu yang menjadikannya sesuatu benda tertentu). Demiurgos tidak mampu menjadikan materi bentuk apa saja yang Ia maui; Ia sama sekali tidak dapat mempengaruhi bentuk (forma).
Maka, Tuhan-nya Plato tidak dapat disalahkan akibat tidak menjadikan kursi, meja, singa, dan seterusnya sebagai benda-benda yang sempurna; hal ini dikarenakan, materi yang menjadi sumber penciptaan dan ketidaksempurnaan semua benda merintangi kehendak dan tindakan Tuhan. Ini tidak berarti mengatakan bahwa Demiurgos bebas dari tanggung jawab atau kesalahan atas segala kejahatan yang telah atau akan terjadi di dunia. Karena Dia sesungguhnya dapat mencegah beberapa tindakan yang menyebabkan kejahatan dan Dia memiliki kuasa untuk melakukan atau tidak melakukan hal itu.
Bagaimanapun, penolakan Plato terhadap kekuasaan absolut Demiurgos menghapuskan masalah kejahatan sebagai sebuah kontradiksi, karena kehadiran setidak-tidaknya suatu kejahatan, yakni ketidaksempurnaan benda-benda material, adalah sesuatu yang tidak dapat dikontrol oleh Demiurgos yang baik. Pandangan kedua, yang menegaskan secara konsisten bahwa Tuhan itu baik dan kejahatan itu ada, berasal dari kaum Manikhean. (Mungkin juga dari agama Hindu).
Menurut pandangan ini, Tuhan, yang diidentikkan dengan kebaikan, tidak memiliki kuasa selain atas benda-benda yang baik. Benda-benda yang jahat diciptakan oleh “oknum” Tuhan yang lain, yakni Tuhan kejahatan. Di sini masalah kejahatan tidak muncul, karena entah kita membicarakan Tuhan kebaikan atau Tuhan kejahatan, kontradiksi mudah dihindari. Tuhan kebaikan tidak memiliki kuasa selain atas benda-benda baik; karenanya kejahatan muncul bukan karena kehendak Tuhan.
Sedang Tuhan kejahatan, Dia bukan hanya Tuhan yang terbatas kuasanya, karena Ia memiliki kuasa hanya atas benda-benda yang jahat, Ia pun memang bukan Tuhan kebaikan, bahkan, sebenarnya, Ia memang memiliki pembawaan sifat jahat. Penciptaan-Nya atas kejahatan, tidak hanya tidak bertentangan dengan Sifat-Nya melainkan justru konsekuensi sifat-Nya.
Tipe solusi kedua dimasukkan ke dalam kategori pertama; karena, bukannya menghapuskan satu atau lebih sifat Tuhan, ia justru menghapuskan kejahatan. Salah satu solusi yang masuk ke dalam kelompok ini menganggap kejahatan sebagai sebuah ilusi, sedang solusi yang lain menganggapnya sebagai ketiadaan kebaikan. Beberapa sekte Hindu seperti Madyamika, misalnya, percaya bahwa seluruh dunia fenomena dengan segala sesuatu yang muncul di dalamnya –benda-benda yang hidup atau mati, baik atau jahat– hanyalah sebuah ilusi.
Dunia ini dimanifestasikan pada kita sebagai real karena pemahaman pikiran kita dibatasi sebagai akibat dari keterpisahannya dengan pikiran absolut atau makrokosmis. Jika kita dapat menghindari diri kita dari keterbatasan pikiran dan melihat benda sebagaimana tampak pada pikiran makrokosmik, semua yang kita alami tentang benda-benda fenomena, termasuk penderitaan dan kebahagiaan, kejahatan dan kebaikan, akan menghilang; yang tersisa adalah sebuah visi tentang keseluruhan, yang tidak mencerminkan pembedaan di antara benda, nilai, atau segala hal yang lain.
Apakah pandangan semacam itu masuk akal, merupakan persoalan di luar cakupan tulisan ini. Yang menjadi perhatian kita di sini adalah fakta bahwa ajaran dasarnya tidak mengalami inkonsistensi yang ditimbulkan akibat adanya (konsep tentang) kejahatan, –setidak-tidaknya ketika ajaran ini diuraikan dalam bentuknya yang eksplisit– karena sesungguhnya kejahatan tidak memiliki eksistensi real di dunia.
Mengenai pandangan yang mereduksi kejahatan menjadi tiadanya kebaikan, seperti juga pandangan yang menganggap kejahatan sebagai sebuah ilusi, ia mencoba memecahkan masalah dengan menghapuskan kejahatan sebagai sebuah realitas positif.
Contohnya, ketunarunguan, kebutaan, sakit, kebodohan dan kelemahan adalah ketiadaan pendengaran, penglihatan, kesehatan, pengetahuan, dan kemampuan. Karena merupakan ketiadaan (nonexistence, nonbeing, nothingness), maka kejahatan atau keburukan tak membutuhkan sumber atau pencipta, karena penciptaan hanya berhubungan dengan keberadaan (existence, being).
Persoalannya adalah, kenapa alam ini tidak diciptakan dengan cara sedemikian, sehingga keberadaan bisa menggantikan ketiadaan? Jawaban terhadap persoalan ini bisa diperoleh dengan memfokuskan perhatian pada karakteristik-karakteristik dunia natural. Aksi-aksi dan reaksi-reaksi yang bersifat
resiprokal dari maujud-maujud material, perubahan-perubahan, penggantian-penggantian, konflik, dan interferensi adalah karakteristik-karakteristik esensial dari dunia material. Jika karakteristik-karakteristik ini tidak ada maka dunia material ini juga tidak ada. Dengan kata lain, system kausal spesifik dunia material adalah suatu system esensial yang dibutuhkan oleh sifat dasar maujud-maujud material.
Oleh karena itu, dunia material haruslah, atau terwujud dengan sistem ini atau ia tak akan terwujud sama sekali. Di sisi lain, kemunculan sebuah fenomena baru tergantung kepada kemusnahan (atau pemusnahan) fenomena yang lama (yang ada sebelumnya). Demikian pula, ketahanan hidup suatu maujud hidup tergantung kepada pengonsumsian ? dan, karena itu, pemusnahan ? maujud-maujud hidup lainnya.
Misalnya, ketahanan hidup manusia tergantung pada pengonsumsian hasil-hasil tanaman atau hewan-hewan tertentu. Argumentasi terakhir ini antara lain diajukan dalam (filsafat) Hikmah yang bersumber dari aliran Akbarian (aliran yang mendasarkan pada pemikiran Syaikh al-Akbar Ibn ?Arabi).
Kategori Kedua
Dalam kategori kedua yang di dalamnya semua premis dipertahankan, kita menemukan empat tipe solusi, yang didasarkan atas empat penafsiran mengenai kejahatan.
Kesatu, kejahatan adalah efek (akibat) yang diperlukan dari kebaikan. Beberapa kebaikan tidak mungkin ada tanpa suatu kejahatan yang secara absolute berasal darinya. Api, misalnya, adalah baik –ia digunakan untuk memasak, menghangatkan, dan untuk banyak tujuan kebaikan yang lain–tetapi ia tidak dapat ada sebagai api tanpa pada saat yang sama juga memiliki kuasa untuk membakar sesuatu yang berharga dalam keadaan tertentu. Maka, kejahatan adalah akibat yang tak terhindarkan dari adanya beberapa kebaikan; menghapuskannya berarti pada saat yang sama menghapuskan sebabnya, yang pada kenyataannya merupakan kebaikan — yang nilai-positifnya melebihi nilai negatif kejahatan.
Bertentangan dengan solusi yang diuraikan dalam kategori pertama, tipe solusi ini, bersama dengan tiga solusi berikutnya, tidak menolak komponen dasar dari ajaran teistik. Semua sifat Tuhan dipertahankan, dan tetap dianggap absolut; kejahatan juga diakui sebagai sebuah fakta di dunia. Yang diupayakan adalah pembenaran terhadap Tuhan yang menyebabkan atau mengizinkan kejahatan.
Kedua, kejahatan adalah sarana yang diperlukan untuk kebaikan. Menurut pandangan ini, kejahatan selalu terjadi agar dapat membawa sesuatu yang lebih baik daripada apa yang telah ada. Menampar anak kecil, misalnya, adalah kejahatan, tetapi ini berguna untuk mendisiplinkan anak. Gempa bumi, banjir, kebakaran, dan bencana lain adalah juga kejahatan, namun semua itu memiliki pengaruh yang baik, seperti menurunkan populasi.
Mengajarkan pada mereka yang masih hidup mengenai bagaimana menghadapi penderitaan dan kesulitan, dan mungkin menimbulkan peristiwa-peristiwa yang baik dalam hubungannya dengan alam semesta secara keseluruhan. kebaikan yang menurut keterbatasan pandangan kita tidak (atau mungkin tidak dapat) kita pahami sebagai kebaikan. Dengan klaim semacam itu, tipe solusi ini disebut sebagai pembelaan bagi kebaikan yang lebih tinggi.
Nelson Pike (“Good and Evil”, Ibid) adalah salah satu pendukung terkenal abad keduapuluh terhadap “pembelaan atas kebaikan yang lebih tinggi.” Pike menyatakan bahwa solusi ini tidak berasal dari klaim bahwa sebuah wujud yang sangat baik akan mencegah penderitaan, jika ia dapat. Pike berargumen bahwa sesuatu bisa baik meski pada saat yang sama menimbulkan kejahatan, tetapi sesuatu itu harus memiliki alasan moral yang kuat untuk melakukan demikian:
Misalnya, seorang ayah yang memberi anaknya sesendok obat pahit tidak boleh disalahkan, karena ia melakukan demikian agar dapat mengobati anaknya dari penyakit. Meminum obat adalah pengalaman yang tidak menyenangkan bagi seorang anak, dan karena itu merupakan suatu jenis keburukan, tetapi hal ini merupakan sarana untuk kebaikan yang lebih tinggi yakni, untuk memulihkan kesehatan anak. Maka, seorang ayah, meskipun bertanggung jawab dalam hal memberi obat pada anaknya, terbebas dari kesalahan yang menimbulkan kejahatan: ia memiliki “alasan moral yang kuat.” Pike berpendapat bahwa argumen yang sama dapat diterapkan pada Tuhan.
Tuhan, yang memiliki pengetahuan tentang penderitaan yang dialami oleh makhluk-makhluk tertentu ketika ditimpa penyakit, penderitaan, dan seterusnya, dan memiliki kuasa untuk mencegah penderitaan semacam itu, masih tetap tidak mencegahnya. Namun Tuhan tidak bisa dituduh jahat, karena alasan melakukan itu secara moral adalah kuat.
Tuhan yang menyebabkan atau tidak mencegah kejahatan memiliki tujuan untuk menghasilkan kebaikan yang lebih tinggi, untuk individu yang ditimpa kejahatan atau untuk alam semesta secara keseluruhan. Dengan kata lain, Jika Tuhan mencegah menghasilkan beberapa kejahatan, maka sama saja Dia mencegah menghasilkan beberapa kebaikan yang lebih tinggi.
Tetapi, bagi sebagian orang, analogi antara manusia dan Tuhan ini dapat menimbulkan pertanyaan lebih lanjut. Memang sulit bagi seorang ayah, dengan keterbatasan manusiawinya, mengobati anaknya dari penyakti tanpa memberinya obat yang pahit. Tetapi Tuhan dianggap memiliki kekuasaan yang absolut, dan karena itu pasti dapat menghasilkan kebaikan tanpa harus memakai sarana kejahatan. (Dengan kata lain, untuk dapat diterima, harus dicatat bahwa pembelaan ini dan pembelaan sebelumnya, secara implisit sebenarnya membatasi kekuasaan Tuhan, meskipun keduanya mengklaim mempertahankan semua premis dasar yang kita catatkan di awal tulisan ini).
Perlu saya tambahkan, pada tahap ini, bahwa keberatan atau pertanyaan ini sesungguhnya mengandung inkonsistensi logis. Yang diupayakan adalah penjelasan-penjelasan (manusiawi yang bersifat) rasional terhadap isu keadilan Tuhan. Dengan kata lain, sejalan dengan hukum-hukum yang berlaku di dalam domain kehidupan manusia. Maka, kaidah-kaidah yang harus dipakai untuk menyampaikan keberatan terhadapnya harus juga menggunakan kaidah-kaidah yang dipakai dalam argumentasi yang dipertanyakan itu.
Melompat kepada ukuran-ukuran yang tak rasional secara manusiawi, semisal mengharap Tuhan memberi obat yang tidak pahit, adalah sebuah kerancuan logis. Dengan kata lain, kalau sejak awal Tuhan memang diasumsikan dapat melakukan hal-hal yang berada di luar kaidah-kaidah (rasional) pemikiran manusia, maka semua pertanyaan soal keadilan tuhan ini sudah tak relevan sejak awalnya.
Yakni, bahwa Tuhan bisa saja dianggap adil meski menciptakan atau membiarkan kejahatan dan keburukan terjadi di dunia ini, hanya kita saja yang tak mampu memahami. Ketiga, kejahatan menambah keragaman di dunia dan karena itu membuat dunia kita menjadi dunia terbaik dari dunia-dunia yang mungkin (diciptakan) (the best of all possible worlds).
Menurut pandangan ini, kejahatan dibenarkan bukan karena klaim bahwa ia tak terhindarkan agar dapat memunculkan beberapa kebaikan yang penting, tetapi karena klaim bahwa ia memiliki nilai positifnya sendiri. Jika kejahatan dihilangkan maka kita akan mendapati kurangya keragaman (sebagaimana dikatakan oleh Leibniz) atau kurangnya kemungkinan yang bisa diwujudkan (sebagaimana dikatakan oleh Ibn Sina) dibandingkan seharusnya ? dengan kata lain, kebaikan yang bisa kurang daripada yang seharusnya atau dibandingkan yang telah kita miliki.
Idenya adalah, semakin banyak keragaman dan semakin terpenuhinya kemungkinan, adalah lebih baik, dengan syarat bahwa keragaman dan kemungkinan yang terpenuhi itu diintegrasikan dengan kesatuan dan keteraturan. Hadirnya kejahatan memberi dunia kita jumlah keragaman yang lebih besar dibandingkan jika tidak ada; karenanya, dunia ini akan lebih baik bila ada kejahatan dan akan lebih baik dari dunia apapun yang kurang memiliki campuran antara kebaikan dan kejahatan.
Keempat, kejahatan bukanlah tindakan Tuhan atau produk dari tindakan Tuhan, melainkan produk dari kebebasan kehendak manusia. Ini adalah pembelaan yang dipergunakan untuk membebaskan Tuhan dari tanggung jawab atas kejahatan moral, bukan kejahatan metafisis. Jika manusialah yang, karena kebebasan mereka, menimbulkan kejahatan moral, maka, ditegaskan bahwa hadirnya kejahatan semacam itu tidaklah bertentangan dengan kebaikan Tuhan.
Tetapi harus dinyatakan pula bahwa merujukkan kejahatan moral kepada kebebasan kehendak manusia tidaklah dengan sendirinya menawarkan solusi yang sempurna atas masalah kejahatan. Di samping fakta bahwa solusi yang terpisah harus disediakan untuk kejahatan fisik dan metafisik, harus diuraikan pula dua hal penting berkenaan dengan kebebasan manusia: alasan Tuhan menyebabkan atau mengizinkan adanya kebebasan kehendak manusia, yang mengetahui bahwa dengan adanya kebebasan kehendak itu, kemungkinan kejahatan juga ada; dan apakah Tuhan dapat membuat orang berbuat benar setiap saat meski dengan fakta bahwa mereka itu bebas.
Pembelaan yang memberikan jawaban kepada dua hal tersebut sekarang biasa disebut dengan pembelaan atas kebebasan kehendak. Pembelaan atas kebebasan kehendak? mengklaim bahwa sebuah dunia dengan makhluk yang memiliki kuasa untuk apa yang baik dan apa yang buruk secara bebas, adalah lebih baik daripada sebuah dunia yang di dalamnya makhluk hanya melakukan apa yang benar, tetapi tidak secara bebas.
Ini adalah jawaban terhadap poin pertama yang disinggung di atas, tetapi ia hanya salah satu tesis dari pembelaan atas kebebasan kehendak, dan bukan yang paling fundamental. Garis argumen yang diambil untuk merespon poin kedua adalah garis argumen yang berada pada pusat perdebatan yang hangat dalam pemikiran kontemporer.
Menurut argumen ini, Tuhan tidak dapat memberi kebebasan pada makhluk dan pada saat yang sama menjamin bahwa makhluk ini akan selalu melakukan apa yang benar secara bebas. Tesis yang kedua ini membutuhkan tesis yang pertama agar pembelaan itu bisa sempurna. Jika Tuhan tidak dapat memberi kebebasan pada orang dan pada saat yang sama membuat mereka selalu dan dengan bebas menjalankan perbuatan yang benar, mengapa Tuhan tidak menahan kebebasan mereka agar mereka dapat menghindari keberadaan atau kemungkinan kejahatan moral?
Pembela atas kebebasan kehendak siap menyatakan bahwa kebebasan adalah lebih baik daripada tanpa-kebebasan, dan bahwa sebuah dunia dengan kebebasan semacam itu adalah lebih diinginkan dan lebih baik daripada sebuah dunia tanpa kebebasan. Dengan kata lain, pembelaan atas kebaikan yang lebih tinggi adalah langkah pertama yang harus diambil di dalam pembelaan atas kebebasan kehendak.
Ketika langkah itu diambil, maka pembela atas kebebasan kehendak harus menegaskan ketidaksesuaian antara premis Orang adalah bebas dan premis Tuhan dapat menentukan orang selalu berbuat benar secara bebas. Ketidaksesuaian semacam itu dipertahankan dengan kuat oleh orang-orang seperti John Hick dan Alvin Plantinga. Tetapi ketidaksesuaian tersebut, sebagai inti dari pembelaan atas kebebasan kehendak, juga memiliki lawan yang tangguh, seperti John Mackie, Antony Flew, dan Dewey Hoitenga.
Maka, pembela kebebasan kehendak berusaha memecahkan persoalan kejahatan dengan mengingkari kemahakuasaan Tuhan. Setelah memberi manusia kebebasan kehendak, Tuhan tidak dapat membimbing perbuatan mereka; jika Tuhan melakukan ini, mereka tidak akan bebas. Dengan kata lain, kebebasan manusia memberi batasan pada kekuasaan Tuhan.
Kesimpulannya, solusi utama terhadap masalah kejahatan dapat dibagi menjadi dua tipe: Kategori Pertama, tipe solusi yang menolak setidak-tidaknya salah satu premis yang dicantumkan pada awal tulisan ini. Contoh-contoh dari tipe solusi ini adalah (a) solusi yang menghapuskan satu atau lebih sifat Tuhan, seperti sifat kuasa; dan (b) solusi yang menghapuskan konsep tentang kejahatan.
Kategori Kedua, tipe solusi yang tidak secara eksplisit menolak semua premis. Contoh-contoh dari tipe ini adalah bahwa (a) kejahatan pasti berasal dari kebaikan; (b) kebaikan membutuhkan kejahatan sebagai sarananya; (c) kejahatan menambah keragaman atau pemenuhan berbagai kemungkinan di dunia, dan ini adalah sesuatu yang baik; dan (d) kejahatan moral disebabkan oleh kebebasan kehendak manusia, bukan Tuhan. Dan diskusi, malah perdebatan sengit, mengenai masalah ini pasti tak akan berhenti di sini.
Hampir dipastikan ia akan tetap tinggal sebagai persoalan yang kontroversial, setelah puluhan abad dalam keadaan demikian. Barangkali Tuhan, bagi yang percaya kepada keberadaan dan keadilannya, memang menyisakan isu ini sebagai satu di antara berbagai misterinya dan, dengan demikian, membiarkannya tetap tinggal sebagai misteri.
Sebuah misteri, yang kalau pun bisa dipecahkan, harus diselesaikan dengan cara lain. Lewat sebuah pengalaman, sebuah perjumpaan, sebuah pencerahan spiritual, ketimbang penjelasan rasional, apalagi filosofis. Barangkali.
TOPIK LAINNYA
bilik misteri, Ciri-ciri KETURUNAN Serunting Sakti, Tembok antartika menurut Al Quran, sipahit lidah keturunan siliwangi, Cara menjadi murid Sang Hyang Nur Cahyaning Nirwana, kesaktian angling darma vs siliwangi, missingqeu, ciri ciri keturunan nyi mas gandasari, lebih sakti mana Siliwangi atau angling dharma, ciri ciri keturunan pangeran cakrabuana