Penjelasan Makna Ramalan Jayabaya Bait 118

 

Artikel ini adala lanjutan dari Trisula Weda Sebagai Pedoman Hidup

Penjelasan Makna Ramalan Jayabaya Bait 118

 

Prabu Jayabaya adalah orang yang pertama kali mempopulerkan istilah Trisula Wedha. Istilah ini disebutkan beberapa kali dalam ramalannya yang terkenal dengan ramalan Jayabaya.

 

Banyak orang yang tidak mempercayai ramalan itu terutama masyarakat di luar pulau Jawa. Sebagian lagi bersikap apatis namun tidak sedikit juga yang meyakini kebenarannya.

Sebagian masyarakat Jawa menjadikan ramalan Jayabaya sebagai rujukan dalam mengamati setiap era perubahan zaman.

Kuatnya pengaruh iblis terhadap manusia Jawa (Indonesia) sudah diramalkan oleh Jayabaya sebagaimana bait 118 (bahasa Jawa dan artinya) sbb:

rawa dadi bera=rawa menjadi rata
iblis anjalma manungsa=iblis menyerupai manusia
iblis mendhilis=iblis merajalela
manungsa sara=manusia sengsara
jaran doyan sambel=kuda suka makan sambel
kreta arodha papat setugel=kereta roda empat menjadi separuh (setengah)
wong bener thenger-thenger=orang benar tidak bisa berbuat apa-apa
bejane sing lali=untungnya yang lupa
bejane sing eling=untungnya yang ingat
nanging isih beja sing waspadha=tetapi masih beruntung yang waspada

Penjelasan maknanya :

  • “Rawa menjadi rata” dapat dimaknai sebagai: banyaknya manusia sehingga rawa/sawah menjadi rata karena ditimbun kemudian diratakan untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal (rumah). Pengusaha property / developer / pengembang perumahan berlomba-lomba membangun rumah akan tetapi kebutuhan rumah tidak pernah cukup. Penduduk Indonesia sekarang berjumlah 230 juta jiwa menempati urutan ke- 4 dunia tingkat kepadatan penduduknya. Dalam 5-6 tahun ke depan mungkin sudah bisa menembus angka seperempat milyard manusia.
  • “Iblis menyerupai manusia. Iblis merajalela. Manusia sengsara”. Maknanya dapat dijelaskan sebagai sebuah keadaan dimana manusia sudah melakoni sifat-sifat iblis secara sadar. Banyaknya manusia yang hilir mudik, penuh kesibukan tanpa mengenal waktu, dianggap sebagai merajalelanya iblis. Manusia sengsara; manusia berlomba-lomba mengejar dunia dengan penuh nafsu meski ahirnya hanya fatamorgana karena apa yang didapatkan tidak membuat manusia merasa tenang dan bahagia. Manusia selalu resah dan gelisah sendiri, susah tidur karena iblis selalu berbisik, iblis selalu memupuk rasa khawatir dan sakwasangka buruk di dada manusia. Akal, logika berfikir manusia sengaja ditutup agar iblis mudah menguasai manusia dan menjalankan secara sadar apapun yang diajarkan dan dikehendaki iblis. Iblis menyerupai manusia sudah diramalkan oleh Jayabaya. Keadaan tersebut digambarkan sebagaimana ramalannya baris ke 12-37 sbb:
Akeh janji ora ditetepi=banyak janji tidak ditepati
keh wong wani nglanggar sumpahe dhewe=banyak orang berani melanggar sumpah sendiri
Manungsa padha seneng nyalah=orang-orang saling lempar kesalahan
Ora ngendahake hukum Hyang Widhi=tak peduli akan hukum Hyang Widhi
Barang jahat diangkat-angkat=yang jahat dijunjung-junjung
Barang suci dibenci=yang suci (justru) dibenci
Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit=banyak orang hanya mementingkan uang
Lali kamanungsan=lupa jati kemanusiaan
Lali kabecikan=lupa hikmah kebaikan
Lali sanak lali kadang=lupa sanak lupa saudara
Akeh bapa lali anak=banyak ayah lupa anak
Akeh anak wani nglawan ibu=banyak anak berani melawan ibu
Nantang bapa=menantang ayah
Sedulur padha cidra=saudara dan saudara saling khianat
Kulawarga padha curiga=keluarga saling curiga
Kanca dadi mungsuh=kawan menjadi lawan
Akeh manungsa lali asale=banyak orang lupa asal-usul
Ukuman Ratu ora adil=hukuman raja tidak adil
Akeh pangkat sing jahat lan ganjil=banyak pejabat jahat dan ganjil
Akeh kelakuan sing ganjil=banyak ulah-tabiat ganjil
Wong apik-apik padha kapencil=orang yang baik justru tersisih
Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin=banyak orang kerja halal justru merasa malu
Luwih utama ngapusi=lebih mengutamakan menipu
Wegah nyambut gawe=malas untuk bekerja
Kepingin urip mewah=inginnya hidup mewah
Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka=melepas nafsu angkara murka, memupuk  durhaka
 
  • “Kuda makan sambel. Kereta roda empat menjadi separuh / setengah”. Maknanya dapatdiuraikan: kuda makan sambel dapat dimaknai sebagai kendaraan mobil yang membutuhkan (makan) bahan bakar minyak (BBM) seperti bensin dan solar. Kereta roda empat menjadi separuh / setengah dapat dimaknai sebagai sepeda motor yang juga digambarkan sebagai “kuda makan sambel” karena bagaimanapun motor juga membutuhkan BBM (sambel).
BACA:  Legenda Pulau Jawa di Zaman Sweta Dwipa

Sekarang ini banyak sekali mobil dan motor. Jalan-jalan yang dulunya lengang sekarang sudah dipadati oleh kendaraan mobil dan motor. Terjadi kemacetan panjang dimana-mana. Mobil dan motor adalah sarana manusia berkendara untuk menunjang aktivitas mereka. Mobil dan motor dijadikan sebagai tolok ukur untuk menilai status sosial seseorang.

  • “Orang benar tidak bisa berbuat apa-apa”. Orang benar dapat dimaknai sebagai orang-orang ahli agama (ustadz, kiyai, ulama, pendeta, pastor, biksu, suhu dsb termasuk orang yang berbudi). Mereka tidak bisa berbuat apa-apa melihat kondisi masyarakat yang tidak jelas arahnya. Keadaan ini sudah dijabarkan oleh Jayabaya sebagaimana ramalannya baris ke 175-184.
akeh wong mendem donga=banyak orang mabuk doa
kana-kene rebutan unggul=dimana-mana berebut menang
angkara murka ngombro-ombro=angkara murka menjadi-jadi
agama ditantang=agama ditantang
akeh wong angkara murka=banyak orang angkara murka
nggedhekake duraka=membesar-besarkan durhaka
ukum agama dilanggar=hukum agama dilanggar
prikamanungsan di-iles-iles=prikemanusiaan diinjak-injak
kasusilan ditinggal=tata susila diabaikan
akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi=banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi.
  • “Untungnya yang lupa. Untungnya yang ingat”. Dapat dimaknai sebagai satu bentukkeadaan / kondisi psikologi masyarakat dalam mencari kebenaran karena orang-orang “benar” sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak lagi didengar oleh rakyat. Tidak ada lagi tokoh atau orang “benar” baik tokoh masyarakat maupun pejabat pemerintah yang bisa didengar perkataanya apalagi untuk dipanuti / ditaati. Orang yang lupa adalah orang-orang yang memaksakan kehendaknya dengan jalan “demonstrasi”. Jayabaya menuliskannya pada baris ke 149-156 sbb:
BACA:  Ramalan Jayabaya Yang Menggemparkan Indonesia
Angkara murka saya ndadi=angkara murka semakin menjadi
Kana-kene saya bingung=di sana-sini makin bingung
Pedagang akeh alangane=pedagang banyak rintangan
Akeh buruh nantang juragan=banyak buruh melawan majikan
Juragan dadi umpan=majikan menjadi umpan
Sing suwarane seru oleh pengaruh=yang bersuara tinggi mendapat pengaruh
Wong pinter diingar-ingar=si pandai direcoki
Wong ala diuja=si jahat dimanjakan
  • “Banyak buruh melawan majikan” maknanya demonstrasi-demonstrasi buruh yang maraksekarang ini menuntut upah tinggi, jaminan sosial, jaminan hidup dsb. “Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh” maknanya para pendemo-pendemo yang bergerak dalam jumlah banyak. “si jahat dimanjakan” maknanya semua keinginan para pendemo akan dipenuhi oleh pemerintah. Para pendemo disebut sebagai si jahat, karena mereka melakukan demonstrasi dengan penuh nafsu amarah, arogan, memaksa dan tidak mau menghiraukan kepentingan masyarakat lain dengan cara menutup dan menguasai jalan.
  • “Untungnya yang ingat” dapat dimaknai sebagai orang-orang yang tidak terlibat atau melibatkan diri dalam demonstrasi-demonstrasi apapun untuk menyampaikan tuntutannya. Jika tidak ada tuntutan berarti tidak melarutkan diri dalam satu permasalahan apapun.
  • “tetapi masih beruntung yang waspada” dapat dimaknai sebagai keadaan orang-orang yang mewaspadai tanda-tanda kemungkinan-kemungkinan munculnya kebenaran ramalan Jayabaya.
  • “KEWASPADAAN” merupakan sikap yang bijaksana dan cerdas dalam menentukan posisi kita di tengah-tengah kondisi masyarakat yang cenderung mengedepankan ego dan nafsu belaka. Dengan bersikap “waspada” kita akan dapat membaca tanda-tanda zaman, mengamati tingkah laku manusia yang menyimpang dari nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan. Dengan bersikap “waspada” kita dapat merenungkan bahwa ajaran agama bukan lagi sebuah solusi yang tepat untuk menjawab keadaan masyarakat yang penuh dengan kebathilan. Dengan bersikap “waspada” kita dapat memikirkan dengan akal fikiran dan logika bahwa di saat-saat seperti inilah “trisula wedha” bisa dianggap sebagai satu-satunya alternatif untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Trisula wedha adalah inti dari ajaran semua agama yang selalu mengajarkan “kebaikan” kepada penganutnya.
  • “WASPADA” termasuk sikap kita untuk mewaspadai artikel SATRIO PININGIT TELAH MUNCUL. Memang, artikel itu tidak mengatakan bagaimana Satrio Piningit mempersatukan ummat manusia untuk tunduk kepada satu Tuhan karena tugas kitalah untuk menyimpulkan sendiri dengan melakukan kajian sebelum menolak kebenarannya. Hanya dengan sikap waspada dan kehati-hatian saja kita dapat menemukan setitik cahaya kebenaran di tengah keadaan yang gelap gulita.
BACA:  Mengenal Teungku Syiah Kuala

Pedoman hidup trisula wedha mulai diterapkan Satrio Piningit secara ketat dan disiplin di kalangan anak asuhnya. Bagi yang tidak menaati pedoman hidup trisula wedha ini (benar, lurus, jujur) akan mendapatkan hukuman yang setimpal.

Dari anak asuhnya kelak trisula wedha akan berkembang secara massif dijadikan pedoman hidup oleh masyarakat Jawa (Indonesia) dan ummat manusia pada umumnya. Semua ini bisa tercapai manakala Satrio Piningit sudah berhasil memenangi perang melawan musuhnya yaitu iblis Laknatullah oleh karena iblis yang menjadi penghalang utama dijadikannya trisula wedha tersebut sebagai pedoman hidup manusia.

Jika anda berfikir benar, berkata benar, melakukan perbuatan yang benar dan berfikir jujur, berkata jujur dan melakukan perbuatan yang jujur maka anda sudah berada di jalan yang lurus.

Dalam artikel SATRIO PININGIT TELAH MUNCUL disebutkan bahwa Satrio Piningit tidak menjalankan syiar islam, Satrio Piningit tidak berpihak ke agama apapun. Satrio Piningit akan mempersatukan seluruh ummat manusia untuk tunduk pada satu Tuhan, mengikuti nabi Ibrahim, seorang yang hanif.

Untuk menjadi hanif patrikan di dalam sanubari “tritunggal nan suci” yaitu “benar, lurus, jujur”. Biarkan “tritunggal nan suci” berurat-berakar di jiwamu. Biarkan “tritunggal nan suci” tumbuh subur di darahmu. Tajamnya “tritunggal nan suci” akan menerangi jalanmu dan menyelamatkan manusia dalam meniti jalan yang lurus. Titian sirathol mustaqim.

Pedoman hidup trisula wedha (benar, lurus, jujur) adalah inti ajaran alqur’an. Benar, lurus, jujur sesungguhnya tiga akan tetapi satu “tritunggal nan suci” yaitu “Jalan yang lurus (siratal mustaqim)” atau “tauhid murni” kepada Allah. Oleh karena ramalan Jayabaya (trisula wedha) relevan dengan inti ajaran alqur’an maka kami mengatakannya sebagai “wahyu suci yang terjaga”.

Demikianlah kajian ini kami tuliskan semoga bisa mencerahkan dan membuka cakrawala berfikir kita semua terutama kepada para ksatria pencari kebenaran.

Oleh: Yaman Al Bughury

 
 

TOPIK LAINNYA

kondpirasi indocropcirvle, ciri ciri keturunan genghis khan, Pengapesan buto ijo, Prabu siliwangi vs angling darma, pernikahan bocah angon, ciri-ciri satrio piningit menurut anak indigo, Cara menjadi murid Sang Hyang Nur Cahyaning Nirwana, ciri keturunan batoro katong, siapakah kakek jabat, makam mak lampir asli

JANGAN LEWATKAN