BILIKMISTERI.WEB.ID – Konflik di Suriah memunculkan kabut syubhat yang cukup tebal di sebagian kalangan. Dan kabut syubhat itu semakin bertambah tebal dengan cara pandang simplisistis yang mereka gunakan. Mereka menganggap bahwa konflik tersebut adalah permainan AS untuk menggulingkan rezim Assad, yang menurut mereka merupakan simbol perlawanan melawan hegemoni Barat bersama dengan Iran.
Propaganda inilah yang juga digunakan oleh Assad untuk mengaburkan pandangan kalangan umat Islam dunia sebagaimana nasihat para pejabat Iran kepada Assad terkait dengan revolusi di Suriah akhir-akhir ini.
Bagi mereka, posisi melawan Israel dan AS cukup untuk menjadi modal meraih simpati umat Islam. Sebuah pilihan yang menurut Trita Parsi seorang warga AS asal Iran yang menjabat sebagai presiden National Iranian American Council dalam bukunya Treacherous Alliance: The Secret Dealings of Israel, Iran, and the United States hanyalah sekadar retorika belaka.
Retorika kutukan atas Israel adalah salah satu trik lama yang dipakai Iran. Pendekatan tersebut akan bergema senada dengan rakyat Arab pada umumnya dan menguak impotensi rezim Arab pro-Amerika. Yang akhirnya akan membuat rezim-rezim tersebut tertekan dan dipermalukan.
Jika AS dan Israel menyerang Iran yang mendukung kemerdekaan Palestina akan sangat tidak mungkin bagi para pemimpin Arab yang sebagian besar membenci Iran untuk secara publik menentang Iran, karena sikap tersebut akan membuat mereka nampak berada di sisi Israel.
Sebuah sikap yang akan sangat membahayakan posisi mereka di hadapan rakyat Arab. Ini adalah trik lama ala Iran yang Israel sudah familiar dengannya.
Menurut istilah Trita Parsi, radikal adalah retorika Khomeini, tapi praktikal adalah kebijakannya. Iran lebih pragmatis dan rumit dari yang kita bayangkan. Jika mereka melihat resiko, mereka akan berhenti dalam periode waktu tertentu.
Dibalik retorika kutukan dan kecaman tersebut, sebenarnya telah terjalin kerjasama yang cukup erat antara AS-Israel-Iran. Mulai dari pelatihan intelejen, perdagangan senjata, kerjasama perdagangan, dll.
Kerjasama tersebut juga terjadi dengan Suriah di bawah kepemimpinan rezim Assad. Sejarah menunjukkan hubungan dan perselingkuhan mereka ternyata sudah sekian kali terjadi sejak sejarah berdirinya Suriah hingga sekarang.
Melalui kedubesnya di Damaskus, Amerika Serikat dan badan intelijen AS (CIA), telah memimpin dalam upaya kudeta militer pertama kalinya di Suriah pada tahun 1949, sebagaimana diyatakan dalam sebuah buku “The Game of Nations” karya Miles Copeland.
Hal ini menandai awal dari peperangan internasional memperebutkan Timur Tengah antara AS sebagai pendatang baru di kancah pertarungan dunia, dan Eropa (Perancis dan Inggris) yang sebelumnya menguasai pengaruh di kawasan tersebut.
Amerika Serikat melalui CIA terus menerus mendukung upaya kudeta militer yg susul menyusul di Suriah dari tahun 1950an hingga 1960an melawan pesaingnya dari negara-negara eropa, hal ini membawa ketidakstabilan yang berlangsung selama lebih dari dua dekade.
Tahun 1967, Hafez Assad menarik diri dari perang untuk mengamankan Israel. Mantan presiden Suriah, Amin Al-Hafez, dalam interview pada tahun 2001 mengatakan bahwa Hafez Assad, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan, memberikan perintah tegas kepada pasukan Suriah untuk menarik diri dari Dataran Tinggi Golan pada awal perang.
Hal ini dilakukan sebelum ada tanda-tanda kekalahan dan bahkan saat belum ada konfrontasi sedikit pun dengan militer Israel. Hasilnya, wilayah strategis tersebut berhasil ditaklukkan oleh Israel. Momen ini menjadi titik balik yang membuat Assad memperoleh kepercayaan dari AS dalam mengamankan perbatasan utara Israel, sebuah prestasi di mata Israel yang berhasil dilakukannya dalam tiga dekade berikutnya.
Tahun 1967, AS memberikan dukungan kepada Suriah melalui resolusi PBB no. 242. Resolusi ini dikeluarkan pasca perang Arab-Israel tahun 1967, dimana Israel pada saat itu berhasil menguasai Dataran Tinggi Golan. Dengan dikeluarkannya resolusi tersebut, Dataran Tinggi Golan dikembalikan lagi ke pangkuan Suriah.
Amerika mendukung resolusi ini. Hal ini nampak bertentangan dengan posisi Israel, meski hanya sekadar lip service, yang menolak segala gagasan penyerahan wilayah strategis tersebut.
Pasca perang “dadakan” pada tahun 1973 antara Suriah dengan Israel, biasanya AS akan mengecam “lawan” Israel saat itu, yaitu Suriah, dan memberikan sanksi pada mereka. Namun yang terjadi malah sebaliknya, pada tahun 1974 Presiden Nixon secara personal justru melakukan kunjungan ke Damaskus untuk menguatkan hubungan dengan rezim Assad.
Tidak hanya itu, sejak tahun 1976 AS menyetujui langkah Assad untuk melakukan okupasi atas Lebanon. Pasukan Suriah menginvasi Lebanon pada awal-awal perang. Diamnya AS atas operasi tersebut menjadi “lampu hijau” bagi Hafez Assad untuk memulai dan terus melanjutkan invasi ini sampai tahun 2005, saat resolusi yang diperintahkan Prancis memaksa Suriah keluar dari Lebanon.
Resolusi ini pada hakikatnya ditolak oleh AS. Salah seorang analis menjelaskan peran AS ini dengan mengatakan bahwa “AS nampaknya secara diam-diam setuju atas keberlangsungan pendudukan Suriah di Lebanon.”
Tahun 1989 AS dan Suriah melakukan kesepakatan perjanjian Tha’if. Perjanjian Tha’if ditandatangani di Arab Saudi antara berbagai faksi di Lebanon untuk mengakhiri perang sipil. AS bersama dengan Prancis, Arab Saudi, Mesir dan Suriah menjadi kekuatan yang membantu menyusun perjanjian tersebut. Perjanjian tersebut menegaskan dukungan internasional kepada Suriah untuk “mengawal” kasus Lebanon.
Tahun 1991 Suriah bergabung bersama AS untuk melakukan invasi ke Irak dalam operasi Badai Gurun dengan mengirimkan 14.500 pasukan dan personil untuk membantu AS dalam invasi tersebut.
Pada tahun 1990-an AS menjadi mediator dalam negosiasi antara Suriah dan Israel. Hafez Assad setuju jika AS menjadi mediator. Kepala Staf Militer Suriah,Letjen Hikmat al-Shihabi, memimpin delegasi ke AS dengan agenda mendiskusikan negosiasi damai atas permasalahan tersebut.
Dalam salah satu wawancara dengan saluran televisi Rusia, Rusia Today TV, seorang mantan Menteri Pertahanan Suriah dan salah seorang pendukung utama rezim Assad, Mustafa Tlas, mengatakan dengan berani bahwa al-Shihabi adalah seorang agen CIA.
Selain itu, CIA dan Suriah juga melakukan kerjasama intelejen untuk melakukan penyiksaan atas para tersangka terorisme sejak tahun 2001. Hubungan antara CIA dan rezim Assad sebenarnya sangat mesra, bahkan saat Suriah disebut negara bengis sekali pun.
Rezim Assad memberikan tawaran bantuan untuk melakukan pekerjaan kotor dengan CIA. Rezim Assad ini menggunakan agen intelejennya untuk mengorek informasi dari para tahanan perang melalui cara-cara penyiksaan untuk kemudian memberikan informasi tersebut pada CIA.
Kasus yang paling terkenal dan menjadi berita internasional adalah kasus yang terjadi atas Maher Arar, warga Kanada yang dituduh dan disiksa dalam penjara Suriah atas pesanan AS namun ternyata tidak terbukti.
Kasus terakhir adalah dukungan AS atas rezim Assad selama revolusi Suriah ini. AS terus diam dan sekadar menyaksikan atas pembantaian yang setiap hari dilakukan Assad atas rakyat Suriah selama dua tahun ini. AS juga menolak untuk memberikan bantuan persenjataan pada kelompok perlawanan untuk melindungi diri mereka dan menggulingkan Assad.
Nampak terlihat dengan jelas, Amerika Serikat telah berupaya sejak awal berdirinya negara suriah modern untuk “memasang” antek-anteknya dalam kekuasaan melalui kudeta militer. Meskipun AS terus berdalih melalui retorika publik melawan Suriah, AS telah mencapai puncak hegemoninya secara sempurna ketika Hafez Assad, mengambil alih kekuasaan pada tahun 1970.
Sejak naiknya Assad, Suriah menjadi negara yang dipergunakan untuk operasi sembunyi-sembunyi bagi AS, termasuk melayani kepentingan AS di kawasan tersebut dan melindungi batas-batas utara entitas Israel, meskipun kelihatannya negara ini mengklaim sebagai pemimpin perlawanan terhadap Israel di kawasan Arab.
Satu hal yang menarik, selama ini ternyata Israel hanya diam seribu bahasa soal Suriah. Bagi sebagian pihak mungkin hal ini aneh, namun kita akan paham jika melihat pandangan Israel tentang Suriah. Meski pun retorika dan bahasa diplomasi seolah menunjukkan permusuhan di antara mereka, namun itu hanya bahasa di publik. Bagi Israel, Suriah adalah tetangga yang dapat diandalkan dan mudah diprediksi.
Selain pertempuran dan ledakan kekerasan skala kecil, Assad masih tetap menghargai perbatasan dengan Israel, yang berarti Dataran Tinggi Golan yang mempunyai nilai strategis secara ekonomi yang direbut secara ilegal oleh Israel pada tahun 1967, tetap tak bergerak. Bahkan pada tahun 2009 yang lalu, Assad menawarkan negosiasi “tanpa syarat” kepada Israel mengenai Dataran Tinggi Golan.
Selain itu, kapasitas Assad sudah diketahui oleh Israel. Meskipun mempunyai hubungan yang erat dengan Iran, Israel tidak terlalu tertarik dengan Suriah pasca Assad.
Mereka tidak mau mengambil resiko perubahan yang berdampak pada perbatasan yang tak terkendalikan, kelompok militan yang tak terhitung jumlahnya, aliran keluar masuk senjata yang deras, meningkatnya pengaruh kelompok Islam, dan pemerintahan yang lemah dan korup yang tidak mampu mengamankan negeri. Karenanya, bagi Isral, “anti-imperialis” Assad masih cukup bagus untuk dipelihara.
“Saya memilih ekstrimisme politik Assad dibanding ekstrimis agama (Islam),” kata Ayoub Kara, anggota parlemen Israel dari Partai Likud. “Kami tidak menginginkan ekstrimis agama (Islam) di perbatasan.”
Kesimpulan ini semakin dipertegas dengan pernyataan Ariel Sharon saat ia masih menjabat sebagai Perdana Menteri Israel. Ia mengecam usulan salah seorang warga Israel untuk menggulingkan Assad. “Apakah kamu gila?”, kata Sharon waktu itu.”Hal terbaik saat ini adalah membiarkan Bashar Assad berjuang mempertahankan kekuasaannya.”
TOPIK LAINNYA
bilik misteri, Ciri-ciri KETURUNAN Serunting Sakti, Tembok antartika menurut Al Quran, sipahit lidah keturunan siliwangi, Cara menjadi murid Sang Hyang Nur Cahyaning Nirwana, kesaktian angling darma vs siliwangi, missingqeu, ciri ciri keturunan nyi mas gandasari, lebih sakti mana Siliwangi atau angling dharma, ciri ciri keturunan pangeran cakrabuana